Langsung ke konten utama

Merak Bakauheni

Merak Bakauheni numpak kapal, kapale fery. Adalah penggalan lagu dari Didi Kempot yang berjudul Kopi Lampung. Sudah jadi semacam kewajiban bagi yang dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera ataupun sebaliknya akan melewati Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni. Dahulu kala sebelum ada Pelabuhan Bakauheni, bagi yang ingin ke Pulau Sumatera dari Pulau Jawa harus dilalui via Pelabuhan Panjang. Namun semenjak 1981 Pelabuhan Bakauheni dibuat, penyebrangan ke Pulau Jawa difokuskan ke Pelabuhan Bakauheni tidak lagi via Pelabuhan Panjang. Meskipun belakangan ini mulai ada kembali penyebrangan dari Pelabuhan Panjang ke Pulau Jawa via Pelabuhan Tanjung Priok. Bedanya kalau yang dahulu penyebrangan lebih difokuskan ke daerah Srengsem, sekarang difokuskan ke Pelabuhan Panjang. Uniknya, dermaga yang dipakai adalah dermaga lama yang lokasinya sudah ada sedari jaman Belanda. Yakni Dermaga (lupa nomor berapa) yang berada di sebelah Kantor Kepanduan Pelabuhan Panjang.

Bagi orang Sumatera perantauan seperti saya, sudah tidak asing lagi dengan Pelabuhan Bakauheni. Minimal setahun sekali akan melewatinya kecuali bagi yang mudiknya pakai cara terbang via udara. Hiruk Pikuk Pelabuhan sudah menjadi cerita tersendiri yang tentu akan berbeda satu sama lain. Dari cerita ditarik-tarik calo, sampai cerita tentang bagaimana serunya mencari tempat duduk di atas kapal fery. Penulispun selalu menemukan sebuah kisah baru setiap dalam perjalanannya. Pernah dapat kapal yang baunya seperti bau kandang ayam, sampai kapal yang lorongnya pakai karpet macam di bioskop kelas Mall. Masing-masing penumpang pun juga punya pilihan masing-masing sesuai selera. Ada yang suka duduk-duduk di geladak samping, ada yang suka duduk di bagian buritan kapal sambil menikmati segelas kopi. Ada pula yang lebih suka masuk ke ruang ekonomi sembari menikmati sajian dangdut sepanjang malam. Bagi saya, lebih senang masuk ke ruangan eksekutif, meski harus merogoh kocek sebesar 10 ribu, biasanya dijamin lebih nyaman.

Lain di kapal lain di Pelabuhan, bahkan antara Pelabuhan Bakauheni dan Pelabuhan Merak berbeda lagi. Di Pelabuhan Bakauheni dahulu sering sekali ada calo yang memaksa penumpang kapal yang baru saja turun. Dengan alasan ingin membantu, tapi memaksa kita harus naik ke travel yang dia calokan. Belakangan sudah mulai tertib, mungkin karena sudah mulai ada anggota berseragam tentara yang beberapa kali terlihat menjaga di pintu keluar. Berbeda dengan di Merak, meskipun jarak terminal busnya lebih dari 1 KM dari pintu keluar Pelabuhan, namun calonya tidak memaksa dan malah lebih sering mengarahkan bagi penumpang baru yang awam. Bus yang disediakan biasanya lebih banyak jumlah jurusannya dibanding di Bakauheni.

Lepas dari Pelabuhan, jika di Merak kita akan disambut oleh area industri yang sudah sangat terlihat saat kita masih berada di kapal terutama di malam hari. Kalau di Bakauheni, kita akan disambut oleh deretan kebun, mau via tol ataupun jalan lintas Sumatera yang kalau malam sering tidak ada lampunya. Katanya sih jalan Lintas Sumatera yang bagian dari Kalianda sampai Bakauheni baru dibuat di tahun 1980an untuk menunjang Pelabuhan Bakauheni. Sehingga cukup wajar jalan relatif lebih sepi dibanding dari Kalianda ke Bandar Lampung.

Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni. Dua pelabuhan paling sibuk di Indonesia, dengan dermaga lebih dari 5, dan juga hampir setiap jamnya ada bongkar muat. Pintu masuk utama bagi kedua buah pulau untuk menuju pulau lainnya jika via darat. Urat Nadi perekonomian yang tidak pernah tidur. Kapan kedua buah pulau ini akan tersambung langsung. Akankah hal ini benar-benar tercapai? Atau hanya angan belaka saja tanpa akan ada aksi nyata? Tergantung bagaimana mood, analisa analisi dari mereka yang berada di Jakarta, yang belum tentu merasakan langsung bagaimana naik Kapal Fery.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersepeda

Sudah sebulan saya merubah pola transportasi harian saya. Dari yang semula full menggunakan motor, menjadi menggunakan sepeda. Bahkan pada awalnya saya berubah total menggunakan sepeda, karena sepeda motor mengalami kerusakan. Kini sesekali menggunakan motor dengan tetap bersepeda sebagai mode transportasi utama. Semua bermula dari salah satu challenge dari Aa Gym kepada seluruh Santri Karya. Inti challenge tersebut adalah Aa Gym akan membelikan sepeda bagi 10 orang yang bersedia berangkat kantor menggunakan sepeda. Semula saya ragu, apa sanggup buat bersepeda dari rumah ke kantor. Namun setelah melihat salah seorang teman, Mas Wahyono, yang jarak rumahnya lebih jauh dari saya, keberanian pun muncul. Terpilihlah saya menjadi salah satu dari 10 orang yang mendapatkan sepeda. Element Ecosmo 7+, sepeda yang penulis pakai sehari-hari. Bersepeda itu membutuhkan konsistensi, bukan hanya sekedar musiman. Sudah capek, kapok. Tidak seperti itu. Memang kita harus tetap memperhatikan ko

Tere Liye: “Karena Penulis yang Baik Menemukan Sudut Pandang Spesial”

Disclaimer: Tulisan ini merupakan tulisan dari salah satu peserta, yakni Rinta Wulandari (Link sosial media akan disertakan di bagian akhir tulisan). Saya memasukkannya ke dalam blog pribadi saya sebagai pengingat waktu bahwa pada waktu itu saya pernah ikut serta jadi salah satu panitia dalam kegiatan ini. Sebagai apa? Itu tidak penting. Yang terpenting adalah banyak peserta yang terinspirasi. Salah satunya Mbak Rinta Wulandari ini. Semoga bermanfaat Link sumber dari tulisan ini ( Kompasiana ) Foto Spanduk Kegiatan. Sumber Foto : Rinta Wulandari Hari ini, minggu(10/11/2013). Aku sudah sampai di Polinela, tepatnya sebelah GSG nya, ada ruangan pertemuan. Di depannya sudah tampak para panitia, dan tumpukkan buku. Ah iya, Forum Lingkar Pena, ahad ini mengadakan taman baca keliling di acara talk show nya Tere-Liye. Memang tak habis ide, dalam menerbitkan selera baca bagi para pengunjung. Di ujung sebelah sana, ada penjualan buku juga, obral buku yang diadakan oleh panitia acara d